Marko Mahin (40) memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Antropologi setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah" pada sidang terbuka Senat Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) di bawah pimpinan Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono M.Sc Dekan FISIP UI, pada hari Selasa (29/12) bertempat di Gedung F Ruang AJB FISIP, kampus Depok.
Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Robert M.Z Lawang dengan Ko-Promotor Dr. Iwan Tjitradjaja serta dewan penguji Prof. DR. Sulistyowati Irianto, Prof. DR. Achmad Fedyani Saifuddin, DR. Harry Kustanto, dan DR. Tony Rudyansjah. Hasil yudisium dengan predikat “Cum Laude” telah berhasil diperoleh oleh pria yang pernah menerima beasiswa dari Global Ministry International – USA ini.

Marko Mahin menyelesaikan pendidikan S2 Master of Arts (MA) di Fakultas Teologi, Universitas Leiden-Belanda pada tahun 2003. Selain masih tercatat sebagai staff pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evengelis (STT-GKE) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga kini marko juga masih aktif dalam Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) sejak tahun 2007. Selain itu, ia juga menulis buku dan melakukan penelitian, salah satu project titlenya adalah “Baseline Survey of Knowledge, Attitude and Perception of People Who Live in Buffer Zone of National Park Sebangau in Central Kalimantan – Indonesia.”
Dinamika agama dan budaya terus mengalami perubahan – perubahan yang luar biasa dan merupakan suatu proses yang selalu bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu. Hal ini ditamdai dengan adanya Kaharingan sebagai salah satu bentuk dinamika dari Agama Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu – ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah terdapat 223.349 orang penganut agama kaharingan. Namun, karena kebijakan negara yang hanya mengakui 5 agama resmi, maka Kaharingan dilihat sebagai :adat”, “kebudayaan”, atau “aliran kepercayaan.” Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsunh diklasifikasikan sebagai orang-orang yang “belum beragama” atau “tidak beragama”. Karena mereka dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa dengan mudah dituding sebagai komunis, pemberontak dan musuh Negara. Agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan dengan sadar melakukan praktik – praktik sosial tertentu. Beberapa strategi dan siasai dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Secara teoritis, penelitian ini memperlihatkan bagaimana politik kultural dan keagamaan terbangun dan dibangun oleh para penganut agama Kaharingan ketika berhadapan dengan struktur – struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Dalam tulisan ini para penganut Kaharingan dilihat sebagai individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen – agen yang lain. Mereka dipandang sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki teori tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya yang meliputi model – model tentang bagaimana dunia ini, bagaimana dunia seharusnya, keberadaan manusia serta kosmologi.(Vra)
Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Robert M.Z Lawang dengan Ko-Promotor Dr. Iwan Tjitradjaja serta dewan penguji Prof. DR. Sulistyowati Irianto, Prof. DR. Achmad Fedyani Saifuddin, DR. Harry Kustanto, dan DR. Tony Rudyansjah. Hasil yudisium dengan predikat “Cum Laude” telah berhasil diperoleh oleh pria yang pernah menerima beasiswa dari Global Ministry International – USA ini.

Marko Mahin menyelesaikan pendidikan S2 Master of Arts (MA) di Fakultas Teologi, Universitas Leiden-Belanda pada tahun 2003. Selain masih tercatat sebagai staff pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evengelis (STT-GKE) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga kini marko juga masih aktif dalam Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) sejak tahun 2007. Selain itu, ia juga menulis buku dan melakukan penelitian, salah satu project titlenya adalah “Baseline Survey of Knowledge, Attitude and Perception of People Who Live in Buffer Zone of National Park Sebangau in Central Kalimantan – Indonesia.”
Dinamika agama dan budaya terus mengalami perubahan – perubahan yang luar biasa dan merupakan suatu proses yang selalu bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu. Hal ini ditamdai dengan adanya Kaharingan sebagai salah satu bentuk dinamika dari Agama Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Kaharingan adalah nama agama masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu – ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah terdapat 223.349 orang penganut agama kaharingan. Namun, karena kebijakan negara yang hanya mengakui 5 agama resmi, maka Kaharingan dilihat sebagai :adat”, “kebudayaan”, atau “aliran kepercayaan.” Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsunh diklasifikasikan sebagai orang-orang yang “belum beragama” atau “tidak beragama”. Karena mereka dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa dengan mudah dituding sebagai komunis, pemberontak dan musuh Negara. Agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan dengan sadar melakukan praktik – praktik sosial tertentu. Beberapa strategi dan siasai dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Secara teoritis, penelitian ini memperlihatkan bagaimana politik kultural dan keagamaan terbangun dan dibangun oleh para penganut agama Kaharingan ketika berhadapan dengan struktur – struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Dalam tulisan ini para penganut Kaharingan dilihat sebagai individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen – agen yang lain. Mereka dipandang sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki teori tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya yang meliputi model – model tentang bagaimana dunia ini, bagaimana dunia seharusnya, keberadaan manusia serta kosmologi.(Vra)